Solusi Sehat untuk membangun Bisnis

Entri Populer

Senin, 25 Juli 2011

lanjutan 3 (Cintaku, Penyakitku)

Akhirnya aku menyelami labirin perasaanku yang tak kumengeri, disana aku menciduk inti perasaan, dan mengorek-ngorek keraknya, kini aku duduk termangu sendirian di sofa kumal pemberian pak Sadikun, yang sudah membawaku terbang, mengurai kejadian, memutar rekaman rasa, hingga timbul gelagap asmara. Sepertinya kejadian sesaat itu sekarang menjelma menjadi candu dalam hatiku, aku ingin mengulangi kejadian itu lagi, akankah mahadewi itu membutuhkanku lagi, tadi banyak sekali pujian kuberikan padanya, dari pisang goreng istimewa yang awalnya aku ragu tuk memujinya karena dikonfrontasikan dengan istriku, sampai rupa kamasutra yang ia mainkan bersamaku, walapun baru setengah mateng hidanganya. aku ingin mengulanginya kawan, aku kecanduan, aku ingin merasakan hidangan yang lengkap dan mateng. pertanyaanya masihkan ia membutuhkanku lagi.

“Papa, anakku memanggil-mangilku, dia mencariku rupanya dia terbangun, disusul suara istriku menyambung panggilan anaku, ” Papa ini anakmu bangun mencarimu, aku anggkat tubuhku dari sofa kramat itu, kuhampiri anak dan istriku, rupanya anaku minta dibuatkan susu, memang kebiasaanya setiap bangun dari tidur selalu minta aku yang membuatkan susunya, aku sambar dot, kuisikan beberapa sendok serbuk susu instan, lalu kularutkan dengan air hangat langsung dari dispenser, dan kuberikan pada anaku, sambbil dia meneguk susu, aku duduk disampingnya setengah rebahan. beberapa kali kuciumi pipi dan kening anaku, tak lama kemudian anaku tertidur kembali dengan salah satu tanganya memeluk tubuhku.

Jam dinding sudah menunjukan pukul 03:15 pagi, kantuk masih tak kunjung datang, pikiranku masih menari-nari bersama udara pagi, “Kok papa masih belum tidur? kalimat istriku memecahkan lamunanku, kujawab simpel, “Belum ngantuk acara TV lagi bagus, karena itu kelana jiwaku satu persatu kembali, esok aku harus kembali bekerja dan aku harus bisa bangun pagi, karena sudah punya janji dengan beberapa tamu Salon yang sudah menjadi langgananku, langganan therapy tentunya, tak lama akupun terdidur, entah pukul berapa aku dapat tertidur, aku tak ingat lagi.
Tepat pukul 08 pagi istriku membangunkanku, seperti biasa aku kekamar mandi dengan segala aktifitasnya, kulanjutkan dengan mempersiapkan perlengkapan kerja, tak lupa kusempatkan meneguk kopi buatan istriku, hmmm, hambar tak senikmat dulu rasanya, rupanya mahadewi itu sudah banyak merubah rupa rasa dalam hidupku, hingga ke rasa kopi buatan istriku yang dulu selalu kupuji, pagi itu nyaris tak ada pujian yang kusanjungkan kepada istriku, hambar, semua yang ada dirumah terasa hambar. aku merasa yang manis dan indah hanya ada dalam perasaanku karena sang maha dewi yang membuatnya, bukan istriku.

“Papa berangkat kerja sayang? lebay sedikit, biasa pasangan muda, krn nikah muda, umurku baru 26 tahun dan istriku 21 tahun, umur yang rawan keracunan sinetron, aku pamit kepada anak istriku, anaku sudah siap berangkat ke sekolah TK, cantik, yang satu ini masih indah dipandang, aku tak berharap kejenakaan dan kecantikan anakupun terenggut juga. lantaran gumulan rupa sudra.


Sebelumnya

Selanjutnya



Sabtu, 16 Juli 2011

lanjutan 2 (Cintaku, Penyakitku)

Wowww ohhh… baru saja aku menggigit pisang goreng, aku langsung terkejut “nikmatttt, hatiku bergumam, ini bener-bener nikmat bukan buatan, seketika aku hendak memuji pembuatnya, belum sempat meluncur kalimat pujian dari mulutku langsung disergapnya “Bagaimana enak kan pisang goreng buatanku?


Emmm echhh enak banget Ibu, bener enakkkk bangettt, wahhh, Aku berekspresi, air muka Ibu Lusiana seketika merah, mungkin pujianku mengena dan membuatnya bahagia, setimpal sudah atas jamuan yang dia berikan, sudah aku bayar dengan bujian, hatinya mungkin melambung, hatikupun tak kurang melambung.


“Enakan mana dengan pisang goreng buatan istrimu?


????… Aku terkejut, aku tak menduga jika pertanyaannya akan bersambung, kini merambah keruang rumah tanggaku, leherku tercekik, aku tidak tau harus jawab apa, karena aku sudah biasa memuji segala yang istriku hidangkan, sekalipun rupa rasanya gak karuan, aku tak biasa mengecewakan istriku, tapi disini aku dihadapkan pada satu pilihan, harus memuji siapa, padahal akupun tidak mau mengecawakan orang yang ada dihadapanku


“Heeee terusin makan pisangnya, jangan ngelamun, buatan istrimu juga enak kan?


“Ya iya laaa, buatan istri sendiri pasti dipuji gitu Lhoo” Ibu Lusiana menjawab pertanyaanya sendiri, sambil ngeloyor meninggalkanku yang masih terbengong


“Sekk tak undang anaku Yooo biar siap-siap


“Achh aku harus bekerja hatiku bergumam, tp masih mendingan, bekerja memang sudah rutinitasku, tapi menjawab pertanyaanya yang tadi sama sekali tak aku harapkan.


“Omm Rudiiiiiiiiii, disini aja dikamar therapinya, Ibu Lusiana menegaskan, menirukan bahasa panggilan anaknya terhadapku, orang jawa, sangat meninggikan adab sopan santun, pendidikan kecil namun berarti bagi anak-anaknya


“Iya, iya.. aku menyahutnya, akupun langsung meninggalkan hidangan pisang goreng istimewa yang sedang kunikmati menuju kamar yang ditunjuknya, disana anaknya ssudah menunggu, aku menyapanya “Angga, nama lengkapnya Angga Swara Prayoga, jawa banget, namun indah, ya memang nama yang indah menurutku dari jawa, agak narsis sedikit gak apalah, nama yang lain juga indah, kebetulan aku lebih suka nama-nama dari jawa, seperti nama ksatria dalam pewayangan.


“Angga, apanya yang sakit? aku menyapanya sedikit basa-basi, anak itu meraba lehernya disertai mengerak-gerakan kepalanya seperti pelemasan, baru mulutnya hendak menjawab pertanyaanku Ibunya langsung nyerosot menjawabnya, “Lehernya Ommm” sudah sekaian kalinya aku mendengar kalimat yang sangat berkesan dari Ibu yang satu ini, “Ohhh iya, kalo therapy agak sedikit sakit gak apa-apa ya?


“Gak apa-apa Omm, kali ini Angga yang menjawabnya.


Tanpa basa-basi lagi aku langsung bekerja, Ibu Lusiana sembari mengamati aku bekerja dari atas tempat tidur, sesekali terlibat obrolan yang kurang penting, basa-basi tepatnya, kebanyakan obrolan seputar ilmu Refleksi, kadang-kadang diselingi masalah pendidikan, mau tak mau aku-pun menceritakan latar bekakang pendidikanku, seisi ruangan selain aku terkejut, sarjana ekonomi, ya aku sarjana ekonomi yang terhempas menjadi therapys, tetap pada rel ekonomi, namun bagi sebagian orang pekerjaanku kurang wajar, tak apalah asal bukan pengangguran intelek, demikian aku berprinsip


Selesai mentherapy Angga kini giliran adiknya, Maya namanya, nama lengkapnya Maya Santika, namun aku memanggilnya dengan Maya saja, pekerjaan yang satu ini agak sedikit ringan karena tidak memerlukan tekhnik ilmu therapy yang baku, hanya anak kecil yang ngiri karena kakanya ditherapy, maka diapun harus ikut ditherapy, tak lama kemudian dua-duanya tertidur, akupun berhenti dari pekerjaanku


Ibu Lusiana menggamit tanganku dan berkata ” selesaikan makan pisangnya, sembari ngeloyor meninggalkan kamar, dan aku mengikutinya dari belakang menuju ruang tamu dimana hidangan pisang goreng istimewa itu tersedia


Acchhh… aku hempaskan tubuhku di sofa yang empuk, yang aku tidak akan sanggup membelinya, jika tetap pada profesiku, jauh sekali dengan sofa pemberian pak Sadikun dirumah kontrakanku yang sekarang sedang menjadi kendaraanku meluncurkan seegala memori yang sedang aku urai ini, sofa dirumah Ibu Lusiana pasti harganya mahal, orang kaya, pasti terlihat dari rupa sandangnya, prabotan rumahnya, pernak-perniknya, semuanya barang import, mungkin juga sebab dari gaya hidupnya yang import pula. bukan produk indonesia, yang aku suka laku bahasanya tetap jawaisme.


“Rudiii capek ya… terimakasih ya, sudah mau memijat anaku? suara itu memecahkan lamunanku yang sedang menikmati sofa empuk dan menelusuri relung rumahnya yang angkuh, tapi tidak bagi pemiliknya, itu menurut kesan yang aku tangkap.


“Ya sudah biasa bu… namanya juga kerja, demikian aku menjawabnya


“Aku salut sama kamu Rudi, jarang Lho sarjana mau kerja seperti ini, kamu ulet,


Aku sempat berpikir, ada apa lagi dengan pekerjaanku ini, apa pekerjaanku ini bagi sebagian orang diapandang nista, atau tidak pantas dikerjakan oleh orang yang dipundaknya tersemat gelar kesarjanaan seperti aku, aku semakin gak ngeh, tapi aku diam, hatiku semakin kaku, setelah ini apa lagi yang akan perempuan ini katakan, aku menunggu, sesekali aku mencuri memandangnya, air mukanya biasa, pisang goreng istimewa tersumpal dimulutku, sebagian mengendap dikerongkonganku, aku ambil air teh manis yang sebenarnya tak kalah istimewa dari pisang gorengnya, namun sudah dingin, tetap aku meneguknya untuk melarutkan endapan pisang goreng dikerongkonganku, nikmat, sungguh nikmat memang segala rupa buatanya sangat nikmat. dengan sedikit basa-basi aku menawarkan jasa, walaupun sebenanya aku berharap dia menolaknya


Aku: “Ibu mau ditherapy juga?


Lusiana: “Achh… tadi siang kan sudah disalon Cicimu? bosku maksudnya


Lusiana: “Emangnya gak kenapa-napa kalau ditherapy lagi?


Aku: “Achh.. ya gak kenapa-napa sichh, makin sering makin bagus


Lusiana: “Kamu gak capek?


Aku: “Capek sih tapi kalau ibu mau ya gak apa-apa


Lusiana: “Oke, kebetulan leherku juga agak sedikit sakit, aku inggin ditherapy seperti Angga, dikamar atas aja ya, sambil nonton TV?


Aduchh kiamat, aku hanya basa-basi dia mau beneran, aku capek, senang, gundah, dan ada rasa yang aneh, yang aku sendiri susah menjabarkanya



Sebelumnya


Selanjutnya

Jumat, 15 Juli 2011

lanjutan 1 (Cintaku, Penyakitku)

Jam 12 malam. Achh.. aku masih blm bisa tidur, beberapa canel TV 14 inc miliku berkali-kali kuganti, tak ada acara yang menarik, paling tidak menurutku, padahal film BOX Office biasanya sangat aku sukai, tapi tidak untuk malam ini.

Malam ini semuanya berubah, kamar rumah kontrakanku yang hanya satu petak terasa pengap, ya memang sebenarnya sudah pengap sedari dulu, tapi biasanya persaanku menyulapnya menjadi salah satu kamar surga firdaus, sesekali mataku mengarah pada anak dan istriku yang sudah dari jam sepuluh tadi mungkin bermimpi indah, tapi aku tidak yakin dengan mimpinya, mungkin saja untuk malam ini istriku bermimpi buruk, mungkin.

Aku tinggalkan anak dan istriku yang sedang tertidur, aku keluar, aku duduk diteras kontrakanku, disitu ada sofa kumal pemberian Pak Sadikun yang baik hati, beliau pemilik rumah kontrakan. achhh… kuhepaskan badanku disofa kumal itu, angin menari menyabut kehadiranku, mengibaskan sampur asmara, seketika rasa pengapku perlahan menghilang, pikiranku terbang menjemput mahadewi dari kayangan, Ibu Lusiana, yah dia bak maha dewi bagiku, paling tidak untuk malam ini, dan untuk diriku sendiri.

Achhh… malam yang ganjil, seganjil perasaanku, tiba-tiba pikiranku beralih pada kejadian siang tadi saat Ibu Lusiana berkata
Rudiiii nanti malam kamu kerumah ibu ya? Anaku sakit leher, mungkin terkilir saat main footsal, kamu bisakan?
Tanpa pikir panjang aku menyanggupinya.

Sepulang dari tempat kerja aku langsung menuju kerumahnya, wah rumah yang mewah, rupanya Ibu Lusiana dan kedua Anaknya sudah menungguku, hatiku tersanjung, kedua anaknya ramah menyambut, aku masuk dan dipersilahkan duduk, hatiku girang tapi kaku, segelas air teh manis dan sepiring pisang goreng rupanya sudah dipersiapkan untuku, aku makin tersanjung, wanita kaya sekaliber Ibu Lusiana mau menyiapkannya sendiri, untuku, “Pisang goreng ini sengaja ibu buatkan untukmu Lho… coba km makan pasti enak buatanku… soalnya suamiku juga menyukai pisang goreng buatanku” Wuiiihhh dia mengatakanya dengan penuh percaya diri, begitu yakin tak akan ada cela pada pisang goreng buatanya, wajar, yah wajar kalo Ibu Lusiana sangat pede, logikanya jika suaminya aja yang pejabat BUMN suka dengan pisang goreng buatanya, apa lagi aku, Therapys reflexology bahasa kerenya, bahasa umumnya tukang pijat, huch nyesek.


Sebelumnya

Selanjutnya

Cintaku, Penyakitku

Judul    : Cintaku, Penyakitku
Titel      : Cerpen
Penulis: Torro Parengkuhan Dewata


Tahun 2007
Pagi itu aku seperti biasa—aku tetap mengerjakan pekerjaan rutinku, bekerja di Sebuah Salon kecantikan di daerah gajah mada Jakarta pusat, sebagai therapys, pukul 08:00 pagi aku sudah stay ditempat, padahal salon tempatku bekerja baru mulai buka pukul 09:00 pagi, artinya satu jam lebih cepat aku sudah siap-siap menjemput pekerjaan rutinkku, padahal biasanya aku datang terlambat yg mengakibatkan aku selalu kena semprot omelan Ciciku (sebutan untuk bosku) yang memang orang cina.

Tapi dipagi itu aku begitu yakin bakal dipuji oleh bosku.. atau malah sebaliknya dicibir oleh teman sekerjaku.. sukur kalau mendapat pujian dari bosku.. namun mendapat cibiran dari teman sekerjakupun gak masalah.. aku sudah siap dengan segala kemungkinan, pujian ataupun cibiran, dipagi ini gak penting bagiku, yang jelas ini hari yang sangat berbeda, karena suasana hati yang berbeda tentunya.
Bahagiakah? tentu saja hatiku bahagia, krn hanya kebahagiaan yg dapat membuat semangat bekerja meningkat. Berbunga-bungakah? tepatnya begitu… mungkin anda bertanya-tanya, apa gerangan yg membuat aku bahagia, berbunga-bunga, sehingga semangat bekerja dapat langsung melejit secepat sambaran kilat, siapapun bosnya dan teman-temanya pasti akan langsung terperangah melihat semangat kerjaku dipagi ini. “alahhh pesetan dengan semua itu” pokoknya aku tdk ingin kebahagiaanku tercecer dan menguap begitu saja, tepat pukul 09:30 nanti sang pembuat bahagiaku akan datang, itulah janjinya yang diucapkan diujung telepon sana

Salon tempatku bekerja sudah buka sedari tadi, tp sang pembuat bahagiaku masih belum juga datang, hatiku sudah mulai gelisah, mungkin karena disebakan rasa harap yg begitu besar, sekarang sudah pukul 02:15 tapi sang pembuat semangatku tak kunjung datang, sekarang hatiku bukan hanya gelisah, gundah terus merayapi sel-sel batinku, sesekali pori-poriku mengembang, mungkin udara dingin AC yg menyebabkanya, mungkin juga muntahan dari perasaanku yang sudah mulai campur aduk.

Ludiiiiiiiiiiiiiii, suara yang tidak asing memecahkan lamunanku, itu suara bos perempuanku, mungkin maksudnya Rudi, itu namaku, dengan logat cinna yang cadel dia memanggilu.
Ini Ibu Lusiana datang oooooooo…
Kamu dicalinya, buluan-buluan oooo0ooo…
Mendengar siapa yang datang aku langsung berjikat bangun dari tempat duduku, dimana baru saja aku melamun, kudekatan wajahku pada kaca rias Salon, sebentar kukucek mataku, tak lupa kurapikan rambutku, kusempatkan juga merapikan pakaianku “Ibu Lusiana” hatiku bergumam girang.

Kawan tahukan… bahwa ini adalah moment yang sangat aku nantikan sedari tadi, tentu sja aku tak akan menyia-nyiakan moment ini, aku harus tampil maksimal, tentunya menurut kemampuanku, kapasitas karyawan salon, therapys, aku langsung menyambar tas peralatanku, didalamnya ada baju ganti, tanganku merogoh lebih dalam kedalam tasku, lebih dalam sapai kedasar menyusup kebawah beberapa lipatan baju, “ah ini dia’ tahukah kawan apa yg kucari GATSBY, parfum andalanku.

Baru saja aku menyemprotkan parfum ajaibku, “Rudiiii… sedang ngapain?
Eee Achh enggak bu, tadi aku keringatan, Eee mmm ?
“Ya sudahlah kamu selesaikan dulu ya?
Ibu tunggu ditempat kerjamu Okay?
Ok’ Okay-okay Silahkan-silahkan ibu, sebentar aku menyusul, mmm

Ibu Lusiana seketika ngeloyor meninggalkanku yang masih tergagap-gagap dengan perasaan yang campur aduk, dia menuju ruang therapy, tak lama akupun langsung menyusulnya.




Selanjutnya